Dalam perjalanan menuju pusat kota Banda Aceh, kami sempatkan untuk mampir ke rumah makan khas Aceh. Ada masakan yang sangat kuingat dan unik menurutku, dan tak lupa kuabadikan dengan kamera digital baruku yang sengaja kubeli khusus untuk ke Aceh karena saat itu kamera SLR-ku lagi dipinjem teman kosku si maning buat wisuda D3-nya. Nama menu masakan itu kalau tidak salah Ayam Tangkap Daun Temurui. Masakan itu terdiri dari ayam kampung yang dipotong kecil-kecil dan digoreng garing beserta daun temurui yang digoreng kering pula. Jadi sensasi makan ayamnya sungguh unik karena diiringi daun temurui yang kriuk-kriuk ketika dimakan.
Usai makan siang, kami pun melanjutkan perjalanan menuju pusat kota, sesampainya di Banda Aceh kujeprat-jepret kameraku dari dalam mobil mengabadikan pemandangan yang Aceh Pasca Tsunami. Kami langsung menuju ke Pantai Uleu Leu yang mengalami kerusakan sangat parah. Namun yang membuatku sangat takjub adalah dari sekian banyak bangunan di Uleu-leu yang tersisa adalah Masjid Uleu-Leu yang masih kokoh berdiri dengan hanya mengalami kerusakan kecil. Saat kami mampir ke masjid itu, renovasi baru dilakukan. Kami pun menyempatkan sholat di Masjid yang menjadi saksi bisu dahsyatnya tsunami tgl 26 Desember 2004 itu.
Di pantai Uleu-leu kami menyaksikan bekas perkampungan yang hanya meninggalkan pondasi ataupun bagian wc yang tersisa. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi saat tsunami terjadi disini. Kami juga menyempatkan melihat pembibitan bakau yang ada di pinggir pantai. Ketika kami sedang melihat bibit2 bakau itu, tiba2 ada seorang pria yang mendekati kami dan menawarkan bakaunya. Mungkin dikiranya kami dari pihak LSM yang siap memborong bakau2nya buat rehabilitasi pantai.
Dari Uleu-Leu kami melanjutkan perjalanan menuju ke daerah sekitar TVRI Aceh bermaksud menemui rombongan peneliti dari Fakultas Geografi UGM dan peneliti Perancis dengan maksud selama kami di Aceh, kami ingin menumpang menginap di kontrakan mereka. Tim Geografi UGM yang dipimpin oleh temannya Mr. C yaitu Pak J*n*n termasuk anggotanya yaitu mas Rino yang notabene putra salah satu dosenku di FKT UGM. Mereka ternyata menempati sebuah rumah kontrakan, dan mereka tidak semuanya tidur di kasur kamar tidur, melainkan tidur dengan beralaskan tikar. Kontan aja Mr. A sebagai dosen seniorku memberi isyarat kepada Mr. C untuk menginap di hotel saja. Setelah mengobrol sekitar setengah jam kami pun meninggalkan camp mereka sambil meminjam peta aerial dampak tsunami yang nantinya kami jadikan acuan buat penentuan lokasi penelitian kami.
Saat itu petang menjelang, kami pun mencari hotel murah di dekat pusat kota Banda Aceh. Kami pun menemukan hotel di kawasan Peunayong Banda Aceh, yaitu Hotel Aceh Barat di jalan Khairil Anwar No. 16. Kami bertiga pun bermalam pertama kali di Aceh dalam satu kamar bertarif 225 ribu per malam yang tentunya itu dengan extra bed buatku tidur di bawah.
Sebelum kami beranjak ke peraduan, kami keluar hotel untuk mencari makan malam. Kami pun mendapatkan tempat makan di lapangan Peunayong yang dikelilingi berbagai penjual makanan dari Mie Aceh, Kerang rebus, Sate Padang, sampai Sate Jawa. Namun yang menarik perhatian kami adalah Jus Terong Belanda yang belum pernah kucoba. kami pun memesan Mie Aceh dan Jus Terong Belanda yang kami nikmati di areal terbuka di pusat kota Banda Aceh yangsangat ramai. Ternyata rasa terong belanda seperti rasa jus mangga dan tentunya menyegarkan. Areal makan ini jangan dibayangkan seperti model lesehan di Jogja melainkan berupa lapangan yang ditengah-tengahnya berjajar banyak sekali meja dan kursi dari plastik yang dikelilingi berbagai penjual masakan yang siap mengantarkan makanan dimana kita duduk. Suasana hiruk pikuk disini seolah menenggelamkan kelabu duka tsunami yang telah melanda Aceh. Kata orang-orang di sini, areal makan ini buka sampai sekitar jam 2 pagi! Wow......ternyata kehidupan malam di Aceh cukup atraktif!
No comments:
Post a Comment