Cowok kok suka belanja.......itulah kalimat yang sering terdengar akhir2 ini. Mungkin di zaman orang tua kita, mungkin terdengar aneh jika seorang cowok gemar belanja. Pusat-pusat perbelanjaan kala itu mungkin hanya dipenuhi oleh cewek-cewek ato ibu2 yang sering berebut barang obralan.
Tahun terus berganti, sekarang sudah tahun 2010, zaman dimana konsumerisme melanda dunia termasuk Indonesia. Para wanita tidak lagi menjadi satu-satunya target utama perusahaan-perusahaan multinasional, sekarang mereka mendapat pesaing yaitu LELAKI. Saat ini kita tidak sulit menjumpai pria yang menyambangi mal-mal dengan menenteng barang belanjaan dalam jumlah besar terutama barang-barang fashion. Para Pria di zaman bahuela yang terkenal sangat berhati-hati dalam mengeluarkan uangnya, di zaman sekarang sudah langka pria model seperti itu. Gempuran iklan di televisi, internet, maupun media cetak sudah mampu merubah stereotip pria yang dulunya sangat berhati-hati me-manage uang menjadi royal dalam menghamburkan uang untuk belanja. Terlebih lagi bagi pria yang menganut gaya hidup metrosexual yang harus mengerti tentang mode terbaru, wangi, rapi, dan necis tentunya membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk belanja barang-barang guna menunjang penampilannya.
Diskon besar-besaran yang digelar berbagai pusat perbelanjaan di Jakarta menjelang lebaran tahun ini juga tidak hanya menarik minat perempuan tuk menyambanginya, tapi para pria pun berjubel di pusat-pusat perbelanjaan itu. Fenomena apakah ini, apakah sekedar efek dari gencarnya iklan di media masa, atau sudah terbentuk budaya baru bahwa pria tidak boleh kalah dengan wanita dalam hal penampilan?
Saturday, September 4, 2010
Petualanganku di Aceh (episode 3)
Malam pertama di Aceh kami lalui dengan tidur yang sangat nyeyak. Hari kedua kami mensurvei daerah yang akan kami lakukan penelitian yaitu di daerah Aceh Besar di sebelah Timur Banda Aceh. Kami melihat ada beberapa penanaman mangrove di lahan pasang surut dan itulah yang kami cari. Setelah melihat sekilas gambaran lokasi penelitian itu kami langsung menuju Banda Aceh untuk menjalankan Sholat Jum'at di Masjid Raya Baiturrahman. Sebelumnya kami makan siang di rumah makan kare kambing ditemani dengan es timun serut yang sangat segar di tengah cuaca Banda Aceh yang sangat terik kala itu. Akhirnya ku bisa sholat di masjid megah yang seringkali hanya kulihat di TV itu.
Usai Sholat Jum'at kami diajak Pak Syaminuddin untuk jalan2 keluar Banda Aceh, tepatnya melihat kawasan Lhok Nga. Sepanjang jalan menuju Lhok Nga ku lihat kanan kiri barak-barak ataupun tenda pengungsian, Bangunan yang luluh lantak akibat tsunami, dan kawasan yang relatif luas dan berisikan sampah tsunami. Di pinggir jalan yang kulalui ada yang membuatku takjub adalah Rumah Pahlawan Nasional Cut Nyak Dien yang masih utuh kokoh berdiri. Menurut Pak Syam , rumah tersebut masih berdiri karena berada tepat di balik bukit sehingga melindunginya dari hempasan tsunami langsung dari Samudra Hindia. Mobil Pak Syam terus melaju sambil terus kuarahkan kameraku untuk potret sana-sini dari balik jendela mobil. Akhirnya kulihat Pantai berpasir putih dan berair biru kehijauan yang di tepinya berdiri tegak bukit-bukit yang hijau, itulah Pantai Lhok Nga yang terkenal sebagai tempat wisata pantai bagi masyarakat Banda Aceh. Aku tidak bisa membayangkan pantai sebagus itu dihempas tsunami yang dahsyat. Mobil pun terus melaju tiba-tiba dari kejauhan aku melihat di kiri jalan ada sebuah pabrik besar yang kondisinya agak rusak. Pabrik itu adalah Pabrik semen Andalas yang juga tak luput dari amukan tsunami yang menewaskan banyak pekerjanya saat itu. Di dekat pabrik itu ada dua buah kapal besar yang terdampar, yang salah satunya adalah kapal tangker yang sangat besar yang terhempas karam di daratan yang berjarak kira-kira 75 meter dari bibir pantai. Wow.......sungguh dahsyat hempasan tsunami saat itu, sampai2 kapal segede itu bisa tak berdaya olehnya.
Puas berfoto ria di dekat kapal yang karam tadi, kami melanjutkan untuk melihat Masjid Lhok Nga yang tetap berdiri kokoh dan menjadi satu-satunya bangunan di Lhok Nga yang masih utuh. masjid Lhok Nga yang hanya berjarak beberapa meter dari bibir pantai dan dulunya dikelilingi pemukiman yang relatif padat, menjadi saksi bisu bagaimana tsunami menyapu habis pemukiman di sekitarnya. Jejak ketinggian tsunami bisa kita lihat dengan mengamati puncak kubah utama masjid yang ada bekas endapan air tsunami yang mengering. Saat itu yang terlihat di sekitar masjid hanya tenda-tenda pengungsian yang sangat padat. Betapa keagungan Tuhan mampu meruntuhkan logika manusia.
Hari kedua kami akhiri di rumah makan Mie Aceh yang cukup terkenal di dekat hotel kami. Makanan ini kulihat berkolesterol tinggi, tapi masyarakat Aceh mensiasati makanan2 berkolesterol tinggi dengan mengimbanginya dengan semacam acar bawang merah yang jujur secara pribadi aku tak menyukainya. Di malam kedua itu aku juga sudah tidak tinggal sekamar dengan kedua dosenku. Aku pindah ke kamar kecil di lantai 1 yang lebih sederhana bertarif 75 ribu semalam, tapi yang penting aku bisa tidur nyenyak. (bersambung)
Usai Sholat Jum'at kami diajak Pak Syaminuddin untuk jalan2 keluar Banda Aceh, tepatnya melihat kawasan Lhok Nga. Sepanjang jalan menuju Lhok Nga ku lihat kanan kiri barak-barak ataupun tenda pengungsian, Bangunan yang luluh lantak akibat tsunami, dan kawasan yang relatif luas dan berisikan sampah tsunami. Di pinggir jalan yang kulalui ada yang membuatku takjub adalah Rumah Pahlawan Nasional Cut Nyak Dien yang masih utuh kokoh berdiri. Menurut Pak Syam , rumah tersebut masih berdiri karena berada tepat di balik bukit sehingga melindunginya dari hempasan tsunami langsung dari Samudra Hindia. Mobil Pak Syam terus melaju sambil terus kuarahkan kameraku untuk potret sana-sini dari balik jendela mobil. Akhirnya kulihat Pantai berpasir putih dan berair biru kehijauan yang di tepinya berdiri tegak bukit-bukit yang hijau, itulah Pantai Lhok Nga yang terkenal sebagai tempat wisata pantai bagi masyarakat Banda Aceh. Aku tidak bisa membayangkan pantai sebagus itu dihempas tsunami yang dahsyat. Mobil pun terus melaju tiba-tiba dari kejauhan aku melihat di kiri jalan ada sebuah pabrik besar yang kondisinya agak rusak. Pabrik itu adalah Pabrik semen Andalas yang juga tak luput dari amukan tsunami yang menewaskan banyak pekerjanya saat itu. Di dekat pabrik itu ada dua buah kapal besar yang terdampar, yang salah satunya adalah kapal tangker yang sangat besar yang terhempas karam di daratan yang berjarak kira-kira 75 meter dari bibir pantai. Wow.......sungguh dahsyat hempasan tsunami saat itu, sampai2 kapal segede itu bisa tak berdaya olehnya.
Puas berfoto ria di dekat kapal yang karam tadi, kami melanjutkan untuk melihat Masjid Lhok Nga yang tetap berdiri kokoh dan menjadi satu-satunya bangunan di Lhok Nga yang masih utuh. masjid Lhok Nga yang hanya berjarak beberapa meter dari bibir pantai dan dulunya dikelilingi pemukiman yang relatif padat, menjadi saksi bisu bagaimana tsunami menyapu habis pemukiman di sekitarnya. Jejak ketinggian tsunami bisa kita lihat dengan mengamati puncak kubah utama masjid yang ada bekas endapan air tsunami yang mengering. Saat itu yang terlihat di sekitar masjid hanya tenda-tenda pengungsian yang sangat padat. Betapa keagungan Tuhan mampu meruntuhkan logika manusia.
Hari kedua kami akhiri di rumah makan Mie Aceh yang cukup terkenal di dekat hotel kami. Makanan ini kulihat berkolesterol tinggi, tapi masyarakat Aceh mensiasati makanan2 berkolesterol tinggi dengan mengimbanginya dengan semacam acar bawang merah yang jujur secara pribadi aku tak menyukainya. Di malam kedua itu aku juga sudah tidak tinggal sekamar dengan kedua dosenku. Aku pindah ke kamar kecil di lantai 1 yang lebih sederhana bertarif 75 ribu semalam, tapi yang penting aku bisa tidur nyenyak. (bersambung)
Subscribe to:
Posts (Atom)