Enam Bulan terakhir ini segala tulisan mengenai properti baik di media cetak ataupun internet selalu menarik minatku untuk membacanya. Forum-forum yang membahas tentang kawasan perumahan, website-website yang memampang daftar rumah yangh dijual, ataupun artikel-artikel mengenai pernak-pernik rumah selalu membuatku bergairah untuk membacanya. Bahkan google earth, google maps, sampai wikimapia pun tak luput dari kejaran mataku hanya tuk melihat lokasi perumahan, tinggi datarannya, terletak di daerah cekungan tidak, bekas apa tanah itu dulu, sampai ke koordinat garis lintang dan garis bujur calon rumahku. Website Panoramio pun tak luput dari jejalan foto-foto perumahanku yang ku-upload.
Dulu membaca artikel tentang properti di koran atau majalah tak pernah membuatku tergoda tuk membacanya. Sekarang rubrik properti di setiap website berita selalu menjadi tujuan utama jariku untuk meng-kliknya. Apalagi kalau ada kolom di surat kabar yang membahas tentang properti khususnya perumahan di jabodetabek menjadi santapan yang wajib kubaca.
Awal Oktober aku membayar booking fee untuk sebuah rumah di kawasan Tangerang Selatan. Aku hanya melihat sekilas dengan istriku kompleks perumahan itu, tapi kami langsung sreg. Cicilan uang muka yang bisa diangsur 5 kali juga membuatku semakin mantap memilihnya. Sejak itulah aku mulai getol liat google earth untuk lebih meyakinkanku kawasan perumahanku bukan daerah cekung dan bukan bekas sawah atau rawa. Aku juga selalu tertarik dengan berita-berita mengenai kawasan Tangerang Selatan, khususnya Serpong karena pastinya nanti kawasan itu menjadi tempat tinggalku, bahkan rencana pembangunan jalan tol Cinere-Serpong yang gaungnya sudah satu dekade lebih dan rencananya menggusur banyak perumahan mewah juga tak luput jadi perhatianku. Aku mencari-cari master plan peta rencana jalan tol Cinere-Serpong yang jangan-jangan melintasi kawasan perumahanku. Dan yang kudapatkan ternyata peta yang ada memang menunjukkan kedekatan rencana proyek jalan tol dengan kawasan perumahanku. Tapi aku berharap jalan tol yang kelak akan dibangun relatif jauh dengan kawasan perumahanku, dan jika menggunakan rencana awal yang ada di peta pasti banyak mendapat resistensi dari warga yang akan tergusur kecuali jalan tol dibangun melayang di atas jalur pipa gas yang relatif bebas dari bangunan permanen.
Aku sudah nggak sabar untuk menempati rumah baru yang sampai saat ini sudah sekitar 95% proses finishingnya. Akan kubuat hijau halaman rumah yang masih tersisa cukup lahan untuk kutanami berbagai tanaman. Sudah tak sabar rasanya menata ruang-ruang yang ada dengan perabotan yang minimalis tapi tetap berkualitas tentunya. Akan kubuat rumah mungilku sebagai tempat istirahat melepas lelah dan penat dengan sangat nyaman. Semoga bulan April depan kubisa menghuninya dan meninggalkan kosku di kebon Jeruk yang sudah 3 tahun lebih kuhuni.
GS2 I'm coming..........
Tuesday, March 20, 2012
Wednesday, March 14, 2012
Semalam Bersama Para TKI
Kamis, 8 Maret 2012 pukul 5 sore, kuminta tolong temanku si Boci mengantarku ke Bintaro Trade Center tempat pool travel Xtrans. Sore itu kembali ku naik Xtrans dari Bintaro ke Bandara setelah 6 bulan yang lalu saat aku akan melangsungkan pernikahan.
Bukan Garuda, melainkan anak perusahaannya yakni Citilink yang mengangkutku ke Surabaya untuk penerbangan pukul 9 malam. Ada delay sekitar setengah jam kala itu. Sesampainya di Surabaya, aku mencari travel Rahayu jurusan Tulungagung yang sengaja ngetem di terminal kedatangan internasional dengan konsumen utamanya tentunya para TKI. Maklum penduduk sekitar Tulungagung dan Blitar banyak yang mencari peruntungan ke luar negeri sebagai TKI.
Lumayan cukup lama aku menunggu travelnya berangkat, sekitar pukul 12 malam, travel baru beranjak dari Juanda. Biasanya travelnya menggunakan Avanza, tapi kali ini menggunakan ELF yang kuhitung kursinya untuk penumpang ada 15 buah, Wow...! Untung nggak penuh, tapi relatif sesak dengan 12 penumpang dengan jarak kursi yang sangat sempit menurutku.
Dua kali itu, aku merasakan naik travel bersama TKI. Kali ini TKI yang bersamaku mayoritas laki-laki, tentunya wong ndeso-ndeso (aku juga wong ndeso, he he....). Kebetulan selain TKI ada sepasang suami istri paruh baya menumpang travel itu dan duduk di samping ku. Ternyata mereka juga orang Tulungagung.
Pasangan suami istri tersebut sangat sewot dengan tingkah laku para TKI yang membuka kaca travel, sehingga angin masuk dengan kencang. "Dasar wong ndeso, musuh wong ndeso pancen angel", gerutu si Ibu yang duduk di sampingku. Si Ibu itu kemudian nyeletuk ke sopir"Pak Pir, AC-ne diuripno, aku masuk angin!". Celetukannya yang cenderung judes membuat sang sopir tak berdaya menuruti permintaan si Ibu. Mungkin pikir si sopir daripada dia diomel-omeli terus mending turuti aja. Semua TKI yang duduk di saping jendela pun langsung dengan sigap menutup kaca mobil. Dalam hatiku aku salut dengan Ibu ini karena berani berargumen dengan lantang, padahal suaminya pun diam saja dan hanya bisa menggerutu.
Kami pun ngobrol sepanjang awal-awal perjalanan kami. Dia pun tanya kerjaku dimana, sudah menikah atau belum, putranya berapa, tinggalnya dimana, .......Eh,Ternyata dia pernah bertemu dengan istriku saat mengantar anaknya minta surat keterangan sehat di Puskesmas.
Selepas istirahat makan malam di daerah Trowulan-Mojokerto, aku pun sempat terlelap walaupun lebih sering terjaganya. Sopir pun berhenti ke penjual buah dan para TKI itu memborong banyak sekali buah untuk oleh-oleh keluarga mereka di kampung. Uang seakan tak menjadi masalah buat mereka.
Sesampainya kami di Kediri, ada salah satu TKI yang usianya pasti sudah diatas 50 tahun bingung mencari alamat rumahnya. Sopir travel pun turut bingung menuruti instruksi arah dari si penumpang. Mungkin karena malam dan dia sudah lama tidak pulang jadilah lupa akan alamat rumahnya sendiri. Akhirnya sang sopir memasrahkan si penumpang ke tukang becak di pinggir jalan agar diantarkan ke rumah Bapak itu. Saat itu hampir pukul 4 pagi. Sekitar pukul setengah lima aku pun sampai di rumah Cempluk. Alhamdulillah bertemu istri tercinta yang sudah lebih dari sebulan tak bertemu sejak bertemu di Jogja awal Februari silam.
Bukan Garuda, melainkan anak perusahaannya yakni Citilink yang mengangkutku ke Surabaya untuk penerbangan pukul 9 malam. Ada delay sekitar setengah jam kala itu. Sesampainya di Surabaya, aku mencari travel Rahayu jurusan Tulungagung yang sengaja ngetem di terminal kedatangan internasional dengan konsumen utamanya tentunya para TKI. Maklum penduduk sekitar Tulungagung dan Blitar banyak yang mencari peruntungan ke luar negeri sebagai TKI.
Lumayan cukup lama aku menunggu travelnya berangkat, sekitar pukul 12 malam, travel baru beranjak dari Juanda. Biasanya travelnya menggunakan Avanza, tapi kali ini menggunakan ELF yang kuhitung kursinya untuk penumpang ada 15 buah, Wow...! Untung nggak penuh, tapi relatif sesak dengan 12 penumpang dengan jarak kursi yang sangat sempit menurutku.
Dua kali itu, aku merasakan naik travel bersama TKI. Kali ini TKI yang bersamaku mayoritas laki-laki, tentunya wong ndeso-ndeso (aku juga wong ndeso, he he....). Kebetulan selain TKI ada sepasang suami istri paruh baya menumpang travel itu dan duduk di samping ku. Ternyata mereka juga orang Tulungagung.
Pasangan suami istri tersebut sangat sewot dengan tingkah laku para TKI yang membuka kaca travel, sehingga angin masuk dengan kencang. "Dasar wong ndeso, musuh wong ndeso pancen angel", gerutu si Ibu yang duduk di sampingku. Si Ibu itu kemudian nyeletuk ke sopir"Pak Pir, AC-ne diuripno, aku masuk angin!". Celetukannya yang cenderung judes membuat sang sopir tak berdaya menuruti permintaan si Ibu. Mungkin pikir si sopir daripada dia diomel-omeli terus mending turuti aja. Semua TKI yang duduk di saping jendela pun langsung dengan sigap menutup kaca mobil. Dalam hatiku aku salut dengan Ibu ini karena berani berargumen dengan lantang, padahal suaminya pun diam saja dan hanya bisa menggerutu.
Kami pun ngobrol sepanjang awal-awal perjalanan kami. Dia pun tanya kerjaku dimana, sudah menikah atau belum, putranya berapa, tinggalnya dimana, .......Eh,Ternyata dia pernah bertemu dengan istriku saat mengantar anaknya minta surat keterangan sehat di Puskesmas.
Selepas istirahat makan malam di daerah Trowulan-Mojokerto, aku pun sempat terlelap walaupun lebih sering terjaganya. Sopir pun berhenti ke penjual buah dan para TKI itu memborong banyak sekali buah untuk oleh-oleh keluarga mereka di kampung. Uang seakan tak menjadi masalah buat mereka.
Sesampainya kami di Kediri, ada salah satu TKI yang usianya pasti sudah diatas 50 tahun bingung mencari alamat rumahnya. Sopir travel pun turut bingung menuruti instruksi arah dari si penumpang. Mungkin karena malam dan dia sudah lama tidak pulang jadilah lupa akan alamat rumahnya sendiri. Akhirnya sang sopir memasrahkan si penumpang ke tukang becak di pinggir jalan agar diantarkan ke rumah Bapak itu. Saat itu hampir pukul 4 pagi. Sekitar pukul setengah lima aku pun sampai di rumah Cempluk. Alhamdulillah bertemu istri tercinta yang sudah lebih dari sebulan tak bertemu sejak bertemu di Jogja awal Februari silam.
Subscribe to:
Posts (Atom)