Mutasi, apa yang salah dengan kata ini? Sebagian pegawai sangat sensitif dengan kata ini. Pekerjaanku sebagai seorang PNS juga tak bisa lepas dari kata ini.
Mutasi ada yang senang dengan kata ini, ada pula yang tidak suka dengan kata ini. Orang yang cenderung resisten dengan kata ini ada beberapa cirinya:
- Pegawai yang sudah berada di 'comfort zone', sehingga sudah merasa cocok banget dengan posisinya saat ini.
- Pegawai yang sudah merasa nyaman dengan kota tempat bekerjanya sekarang ini.
- Pegawai yang sudah berkeluarga dan tidak ingin berpisah jauh dengan keluarganya.
- Pegawai yang tidak suka tantangan
- Pegawai yang tidak mempunyai ambisi untuk mengejar karir
Namun ada juga pegawai yang cenderung tolerir dengan 'mutasi' dengan ciri-ciri sebagai berikut:
- Pegawai yang posisinya saat ini tidak strategis atau tidak membuatnya senang
- Pegawai yang suka tantangan
- Pegawai yang terbiasa berpisah jauh dengan keluarganya
- Pegawai yang ditempatkan di daerah terpencil
- Pegawai yang berambisi terhadap karir/promosi
Nah, beberapa hari terakhir di unit eselon I tempatku bekerja ada mutasi pelaksana. Kebetulan ada 4 staf di kantorku yang ikut mutasi. 2 orang sudah berkeluarga, dan 2 orang masih bujangan. Semuanya adalah laki-laki. Yang sudah berkeluarga kebetulan dipindahtugaskan ke Jogjakarta, sedangkan yang masih bujangan dipindah ke Jakarta.
Keempat temanku itu tidak menampakkan ekspresi kegembiraan di wajahnya, bahkan yang terjadi sebaliknya. Padahal mereka semua orang Jawa, dan biasanya orang Jawa yang bertugas di luar Jawa dimutasi kembali ke Jawa, tentu mereka akan senang dengan kabar itu. Namun, hal tersebut tidak berlaku untuk keempat temanku tadi. Berbagai alasan tentunya yang menyebabkan kondisi kekecewaan:
- Mereka sudah terlanjur betah disini (Balikpapan)
- Mereka sudah mempunyai rumah dan mobil disini
- Anak istri mereka sudah nyaman tinggal di Balikpapan
- Lingkungan kerja di kantor yang menurut mereka sudah sangat nyaman
- Persepsi mereka tentang sulitnya beradaptasi di tempat kerja yang baru ataupun kabar-kabar bahwa tempat kerja yang baru sangat membosankan dan menebar rasa ketidaknyamanan.
Mutasi memang diperlukan dalam suatu unit organisasi biar tidak terjadi kebosanan dalam rutinitas kerja yang sama tiap harinya, mencegah terjadinya status quo dalam sebuah organisasi, mencegah dominasi faktor kesenioritasan, menempa pegawai menjadi calon pejabat atau pejabat yang tahan banting dan mengetahui permasalahan-permasalahan dalam berbagai unit kerja dalam organisasi.
Terlepas dari plus minusnya mutasi, untuk kasus keempat temanku itu mutasi mereka bukanlah mutasi vertikal/promosi jabatan, melainkan mutasi horisontal. Jadi jika mereka masih pelaksana untuk mutasi harus diperhatikan kondisi yang bersangkutan dan keluarganya, baik itu sisi finansial ataupun sisi psikologisnya.
Jika masih pelaksana yang umurnya relatif masih muda apalagi sudah menikah, untuk beradaptasi di lingkungan kerja baru pasti memerlukan waktu yang tidak singkat tergantung kemampuan pegawai tersebut maupun kondusifnya lingkungan kerjanya yang baru. Misalkan temanku si W yang sudah mempunyai rumah dan mobil dan berkeluarga. Untuk dimutasi ke kota lain dia harus menjual rumah dan mobilnya untuk modal membeli rumah baru di tempat kerja yang baru, padahal jual beli mobil apalagi rumah perlu proses yang relatif panjang untuk kecocokan harganya. Belum lagi dia harus meyakinkan istrinya untuk pindah ke kota yang baru.
Dia mungkin bisa saja mengontrak di tempat baru, tapi apakah keluarganya bisa tinggal di kontrakan yang sederhana padahala sebelumnya sudah terbiasa hidup nyaman di rumah sendiri. Besarnya biaya-biaya yang timbul saat awal-awal mutasi merupakan beban tersendiri bagi staf bersangkutan, dan jika beban itu tidak bisa ditangani secara baik akan timbul demotivasi yang bersangkutan dalam bekerja.
Seorang staf pelaksana, misalnya di kota Magelang yang bergaji 5jt jika dia dimutasi ke Balikpapan gajinya akan tetap 5 juta. Yang membedakan adalah nilai riil dari gaji sebesar 5 juta yang diterima. Kalau di Malang mungkin uang 20 ribu bisa untuk makan sampai 3 kali, di Balikpapan cuma bisa untuk sekali makan atau paling banter 2 kali makan jika mau ngirit lauk. Jadi secara riil pendapatan mereka berkurang. Belum lagi jika harus menengok anak istri di Jawa yang membutuhkan biaya tranport minimal sepertiga penghasilan. Oh,pahit sekali rasanya.....
Berbeda halnya jika mutasi vertikal/promosi jabatan, kompensasi gaji dan tunjangan yang lumayan berbeda signifikan dengan pelaksana, akan mengobati pahitnya mutasi ke daerah.
Jadi apa salahnya dengan kata 'Mutasi'?
No comments:
Post a Comment