Sepertinya ungkapan itu memang ada benarnya. Mencari rumah adalah gampang-gampang susah apalagi di Jakarta dan sekitarnya. Tentunya gampang jika kita seorang milyader yang tak perlu pusing memikirkan harga rumah, tinggal pilih yang disuka, langsung bayar dah. Namun, kebanyakan dari kita tentu yang sebaliknya.
Rumah di Jabodetabek 3 tahun terakhir ini naiknya gila-gila-an. Sudah nggak masuk akal menurutku, masak dalam waktu sesingkat itu harga rumah sebagian besar sudah naik lebih dari 100%. Untung aku masih bisa membeli rumah di tahun 2011 lalu, walaupun harga rumahku itu menurutku sudah terlalu mahal untukku.
Awal tahun 2011 aku kepikiran untuk membeli sebuah rumah, karena aku akan menikah tahun 2011 itu. Kucari-cari rumah di internet khususnya di kawasan Bintaro dan sekitarnya, soalnya kantorku waktu itu ada di Sektor 5 Bintaro. Banyak klaster-klaster kecil yang ditawarkan di internet, dan yang menarik perhatianku terus kudatangi langsung untuk ku-survei. Ada yang bagus, cocok dengan kualitas dan model rumahnya, namun nggak cocok dengan akses jalan masuknya yang relatif sempit karena masuk ke dalam gang, bukan di pinggir jalan utama.
Ada pula perumahan baru di sekitarnya yang aku sudah sangat sreg sekali dengan suasana dan lingkungannya, namun harganya tiba-tiba melonjak sangat tinggi, sehingga kuurungkan niatku untuk membelinya (aku juga bersyukur nggak jadi beli di perumahan itu, karena ternyata daerahnya dulu bekas sawah dan empang, serta jauh lebih rendah daripada daerah di sekitarnya).
Aku urungkan niatku untuk membeli rumah kala itu selama beberapa bulan, karena aku ingin konsentrasi dengan ujianku dan persiapan pernikahanku.
Beberapa hari setelah hari pernikahanku, istriku kuajak ke Jakarta. Kami berencana mengurus kepindahan tugas istriku dari daerah ke Kota Tangsel di BKD Tangsel. Dalam perjalanan kami menuju BKD kami melewati jalanan di Tangerang Selatan yang belum pernah kulalui, ada jalan Aria Putra, Jalan Ciater, sampai dengan Jalan Puspitek jurusan Parung Bogor. Namun, dalam perjalanan saat melintasi jalan Ciater, kami melihat banyak perumahan baru yang dibangun ada Rosewood, Grand Serpong, dan Beranda Serpong. Kami 'terpukau' dengan perumahan baru yang bangunannya tertata rapi, yang ternyata adalah Grand Serpong 2.
Usai dari BKD, kami menyempatkan untuk mengambil brosur perumahan Beranda Serpong di kantor marketingnya yang masih seperti bedeng tukang di pinggir jalan raya Ciater. Kami pun melanjutkan ke Grand Serpong 2 yang ternyata langsung membuat kami jatuh cinta. Jatuh cinta pada pandangan pertama, itulah kata yang tepat untuk menggambarkan suasana hati kami berdua saat itu.
Kami memilih rumah di Hoek dekat taman dengan tanah seluas 135 m2 dan bangunan mungil seluas 39 m2. Sebenarnya kami naksir dengan rumah tipe 51 dengan luas tanah 105, tetapi berhubung tinggal yang lokasinya terletak di tengah, maka kami pun mengurungkan niat, padahal bisa lebih murah sekitar 20juta dari harga rumah mungilku sekarang ini. Toh masih bisa diperluas sendiri rumahnya dengan sisa tanah yang lumayan dan yang pasti tentunya kualitas bangunan dengan membangun sendiri lebih bagus daripada bangunan developer hasil dari sub-sub kontraknya.
Aku yang terbiasa tinggal di desa dengan halaman yang luas membentuk mind set-ku kalau rumah ya harus ada halaman depan dan belakang dan samping yang dipenuhi dengan tanaman. Jadi aku lebih memilih luas tanah daripada luas bangunannya.
Yang belum aku habis pikir sampai sekarang ini, kok aku dan istriku saat itu langsung klop dan merasa berjodoh dengan rumah itu. Langsung lah aku kasih booking fee ke marketingnya. Kucicilah DP-nya sebanyak 5x dan kuambil KPR 15 tahun dengan BTN.
Rumah memang suatu kebutuhan pokok yang sebisa mungkin harus dipenuihi. Rumah sebagai simbol kemapanan memang tak lekang oleh zaman. Berapa banyak orang di negeri ini yang belum memiliki rumah sampai pensiun bahkan akhir hayatnya, berapa banyak pensiunan yang diusir paksa dari rumah dinas yang puluhan tahun ditempatinya.
Mempunyai sebuah rumah zaman sekarang ini memang perlu kenekatan. Untungnya ada KPR sebagai solusi. Melejitnya harga rumah di Jabodetabek yang menurutku sudah over value membuat harganya hanya terjangkau bagi segelintir orang ataupun investor (lebih tepatnya spekulan) rumah yang mengharapkan keuntungan jangka pendek berkah dari boomingnya industri perumahan Jabodetabek.
Benar memang kalau rumah itu laksana jodoh yang menanti pasangan hidupnya untuk dipinang. Ada kalanya jodoh kita ada orang yang selama ini dekat dengan kita dan tidak kita sangka-sangka, ataupun seseorang yang baru kita kenal namun kita sudah merasa cocok dan lancar semua urusan sampai ke pelaminan. Begitu pula rumah, kadang kita sudah mengincar lama rumah yang kita idam-idamkan namun banyak kendala yang menyulitkan kita untuk memilikinya, atau kadang kita baru lihat pertama kali rumah itu dan langsung cocok dengan lokasi, harga dan sebagainya sampai kelancaran finansial untuk memilikinya.
Jadi seperti jodoh, kalau Tuhan telah berkehendak kita memiliki rumah itu ya jadilah rumah itu milik kita walaupun pada awalnya kita merasa kesulitan dengan harganya, namun yakinlah niscaya Tuhan akan melancarkan rezeki kita untuk memilikinya.
Tidak berani nekat = Ngontrak seumur hidup
No comments:
Post a Comment