Uban bagi sebagian orang menjengkelkan, sebagian lagi memalukan, sebagian sisanya menganggap suatu hal yang wajar alamiah.
Kemarin saat kulihat mukaku di cermin kecil aku dikagetkan oleh rambut putih yang menyembul dari lubang hidungku. Ya Tuhan.... Ternyata tidak hanya rambut kepalaku saja yang memutih, bulu hidungku juga tak mau ketinggalan.
Seingatku uban muncul pertama kali di kepalaku saat aku duduk di kelas 6 SD. Mulai masuk SMP satu dua uban kucabuti, bahkan aku minta temanku mencabutinya. Berlanjut sampai di SMA aku masih sering minta bantuan temenku untuk mencabut si putih menyebalkan di kepalaku.
Menurut salah satu tukang cukur yang kudatangi, uban di kepalaku itu karena jenis rambutku yang tergolong kaku seperti 'duk'. Aku juga mencoba menggunakan jeruk nipis, kemiri sangrai yang kutumbuk untuk menghitamkan kembali rambutku. Namun semuanya sia-sia. Bahkan aku pernah dianjurkan seseorang untuk menggunakan krim rambut merek tertentu yang aku lupa namanya, aku pun mencobanya. Bukannya rambut hitam yang kudapat, melainkan semakin banyak rambutku yang memutih dan mulai sedikit rontok.
Rambutku yang tebal dan seringkali mengembang saat bangun tidur hingga seperti wig setidaknya menutupi ubanku yang mulai merajalela. Namun, karena semakin banyak uban yang tumbuh, kuputuskan memakai cat rambut pertama kali menjelang tamat SMA.
Cat rambut merek 'Wella' dengan warna hitam kemerahan yang kupakai pertama kali saat itu. Menginjak masa kuliah, jarang sekali aku mencabut uban kecuali yang tampak menonjol sendiri. Aku gonta-ganti cat rambut, dari yang warna kemerahan, kecoklatan, sampai kebiruan. Dari berbagai cat rambut buatan pabrik ternama sampai dengan cat rambut tradisional buatan India 'Henna' seharga 5000 perak pun pernah kucoba.
Jauh sebelum aku beruban, saat masih sekitar kelas 3 SD saat maen ke kantor Ibu, aku sering diminta teman-teman Ibu yang laki-laki untuk mencabuti uban mereka dengan diiming-imingi uang beberapa ratus perak sekedar buat jajan. Eh ternyata malah aku sendiri yang banyak ubannya. Ada yang bilang uban yang tumbuh terlalu dini padaku adalah karena faktor genetik. Aku lihat saudara sepupuku ataupun temanku yang jenis rambutnya hampir sama denganku juga mengalami masalah serupa.
Aku tergelitik dengan pernyataan Dosen Waliku saat aku masih kuliah, Beliau berkata "Jika Tuhan berkehendak aku untuk memilih menjadi tua dengan kepala botak atau dengan kepala putih penuh uban, dengan jelas aku memilih kepala beruban saja, lebih gantengan masih punya rambut daripada tidak!"
Saat ini setelah aku menikah, ketika pulang ke rumah di kampung menengok anak istriku selalu saja istriku berinisiatif untuk menyemir rambutku yang sudah sekitar 30% memutih ini. Semir rambut yang kugunakan sekarang, dan juga digunakan pula oleh Ibuku karena dari Beliaulah yang merekomendasikan semir ini dengan kualitas keawetan warnanya yang memuaskan adalah bermerek 'Toning' produksi Rudi Hadisuwarno sang penata rambut terkenal Indonesia.
Bukan berarti aku menolak menjadi tua, melainkan teman-teman seumuranku tidak banyak yang beruban, dan mereka tidak perlu repot-repot menyemir rambut tiap bulan, dan tentunya aku tidak ingin terlihat tampak tua dari umurku yang sebenarnya.
Mungkin jika sudah berumur 50 tahun ke atas aku bisa menerima proses penuaan rambut yang sudah selayaknya kuterima dengan rasa penuh syukur akan karunia-Nya.
Uban, kau alarm alami yang diciptakan Tuhan kepada tiap-tiap manusia untuk mengingat umurnya. Namun, adakalanya engkau adalah benda spesial yang terlalu cepat tumbuh pada anak-anak muda yang masih ingin tampil menawan di hadapan teman-temannya tanpa ada secuil penampakanmu.
Setelah kupikir-pikir ternyata pernyataan dosenku kala itu ada benarnya juga ya. Kalau beruban masih bisa disembunyikan dengan cat rambut. Nah, kalau botak apa mau disembunyikan pakai wig? Bukannya tambah keren nanti malah kayak gayus jadinya, he he....
No comments:
Post a Comment