Nomor pertamaku adalah IM3 dari Indosat. Mengapa IM3, karena kudapatkan nomor itu secara gratis sebagai bonus membeli HP Motorola di Toko Galaxy Jalan Solo, dekat Museum Affandi yang entah keberadaannya sekarang masih exist atau dah gulung tikar.
Masa itu, masa dimana harga kartu perdana masih relatif sangat mahal sekitar ratusan ribu rupiah. Aku ingat, membeli kartu pertamaku Simpati seharga 215 ribu rupiah, yang sampai saat ini masih kupertahankan dan sudah genap berumur 10 tahun saat ini.
HP motorolaku seharga 1 juta lebih dikit itu pernah pula minum air laut di Pantai Baron, saat aku diceburin rame-rame oleh temanku dan ternyata di saku celanaku masih ada HP padahal pulsanya baru kuisi 150 ribu. Jadilah HP-ku di opname di service center Motorola di Jalan Wirobrajan selama kurang lebih seminggu dengan ongkos 200 ribu, padahal uang bulananku saat itu cuma 350rb, untungnya masih ada tabungan, jadi tidak perlu puasa setengah bulan.
HP kedua-ku adalah Nokia N-Gage yang kubeli sekitar tahun 2004 seharga 1,5 jutaan. HP dengan bentuk aneh yang sebenarnya dikhususkan untuk gamer. Dengan fitur yang sudah jauh meninggalkan HP konvensional, N-Gage termasuk jenis smartphone dengan menggunakan sistem operasi symbian. Layarnya relatif besar dan berwarna meski resolusinya masih rendah, sudah ada bluetooth, dan bisa digunakan untuk internet, FM radio, MP3 player namun tidak dilengkapi dengan kamera. Sekitar satu tahun aku menggunakan N-Gage yang ternyata baterainya sangat boros dan membuatku semakin jengkel. Jadilah tahun 2005 kulego N-Gage-ku ke penjual HP 2nd di Jalan Gejayan Jogja seharga lebih tinggi dari harga beliku, karena saat itu N-Gage sedang booming, dan itulah satu-satunya HP Nokia yang kenaikan harganya signifikan, bahkan HP bekas pun dihargai lebih dari harga belinya setahun sebelumnya.
Hasil penjualan N-Gage, kubelikan Motorola V3 black dengan model flip dan bentuk yang langsing, tipis elegan seharga 1,7jutaan. Setelah V3, kubeli adiknya yaitu V3i yang terbuat dari metal sehingga terlihat lebih kokoh dengan fitur yang lebih bagus dan tentunya lebih elegan.
Pertengahan tahun 2007 kubeli lagi HP smartphone dari Nokia yaitu Nokia E 61 yang merupakan HP QWERTY pertama Nokia dengan bentuk menyerupai Blackberry. Teman-temanku yang masih awam dengan HP QWERTY saat itu menganggap E 61 -ku adalah sebuah kalkulator. E 61 sangat berjasa sekali dalam membantuku mencari lowongan kerja lewat internet, mengirim lamaran kerja, dan tentunya buat browsing & chating. Saat itu E 61 serasa sangat canggih dan lengkap sekali fiturnya kecuali kamera. Dengan layarnya yang lebar bisa buat nonton streaming TV, Youtube. Alasan utama aku membelinya saat itu adalah untuk selalu update perkembangan harga saham yang saat itu aku masih bergelut aktif di dunia pasar saham Indonesia, meski sebagai investor kecil-kecilan.
HP ku selanjutnya adalah Motorola seharga sekitar 600 ribuan yang aku lupa tipenya, karena sampai saat ini aku tidak tahu keberadaannya sejak sekitar tahun 2009. Mungkin karena kebanyakan HP jadi aku melupakan HP ku yang satu ini kutaruh dimana.
Sejak tahun 2007 aku sudah memimpikan mempunyai iPhone yang terlihat sangat canggih, futuristik, dan penggunaan touchscreennya yang mulus. Namun keinginanku untuk mempunyai iPhone akhirnya kesampaian pada awal tahun 2010 saat Telkomsel melaunching iPhone 3GS di Plaza Senayan. Tanpa basa basi aku pun meluncur ke Plaza Senayan sepulang dari kantor di kawasan Kebayoran Baru, dan kebetulan saat itu sedang hujan, namun tak menyurutkanku untuk tetap membeli HP idamanku itu walaupun harganya cukup mencekik leher yaitu sebesar 7,2 juta plus casing pelindungnya seharga 400 ribu. Kudapatkan kartu simpati dengan paket internet gratis sebesar 500 MB serlama 12 bulan gratis plus bonus Kaos Hitam bertuliskan iPhone 3GS Telkomsel. Sampai saat ini iPhone 3GS lah HP tercanggihku yang malahan fitur telponnya jarang kugunakan karena lebih sering kupakai internetan, email, dan berbagai aplikasi menarik di dalamnya.
Belum berakhir di iPhone, HP ku selanjutnya adalah samsung CDMA. Kubeli di Mal Ambassador seharga 300 ribuan yang kubeli sepasang dan kuiisi dengan kartu FREN karena sengaja kuperuntukan untuk berkomunikasi murah dengan si Cempluk yang saat ini sudah menjadi istriku.
HP terakhir yang kubeli adalah merek Lenovo. Saat itu ada iklan HP Lenovo di Kompas dan sedang launching dengan harga promo. Biasa aku mudah terpengaruh promo, kubela-belain naik sepeda motor dari kosku di kawasan Kebon Jeruk bersama teman kosku si Gendut ke Mal Kelapa Gading hanya sekedar melihat promo HP Lenovo. Akhirnya aku memutuskan membeli HP Lenovo seharga 610 ribu rupiah.
Sampai saat ini ada 5 HP yang menemaniku setiap hari dengan satu HP V3i-ku yang sudah tidak kuisi kartu karena sudah agak ngedrop baterainya. Jadilah di kantor sampai saat ini selalu kubawa 4 HP yang semuanya aktif yaitu iPhone 3GS, Nokia E61, Samsung CDMA, dan Lenovo. iPhone 3GS buat internetan, Nokia E61 untuk komunikasi sms dan telepon dengan Kolega, Samsung buat berkomunikasi dengan istri, dan Lenovo sebagai pelabuhan kartu Simpatiku yang sudah berusia 10 tahun saat ini.
Pages
▼
Sunday, February 3, 2013
Saturday, February 2, 2013
HP dan Aku (part 1)
Mobile Phone atau yang sering kita sebut HP alias telepon genggam sudah lekat dalam kehidupan masyarakat satu dekade terakhir ini.
Dulu waktu melihat HP pertama kali, yang kuingat semasa SD dulu adalah HP besar yang kelihatannya sangat berat dan harganya selangit. Cuma orang-orang berkocek tebalah yang bisa memilikinya.
Untuk yang tidak kuat beli HP namun tetap pengen bergaya solusi saat itu adalah Pager. Masa-masa kejayaan pager saat dekade 90-an akan kelihatan keren jika diselipkan di ikat pinggang, namun sungguh tidak praktis penggunaannya. Tentu saja aku yang masih kolokan saat era booming pager tidak pernah memilikinya. Aku cuma melihatnya dipakai kalangan anak muda ibukota yang kutonton di televisi dan kudengar lewat lagu yang didendangkan salah satu grup musik saat itu yang sudah kulupa namanya. " Beep Beep... Pagerku berbunyi.... beep-beep-beep-beep begitu bunyinya....." itulah sepenggal bait lagu tentang kepopuleran pager saat itu.
Pager pun layu sebelum berkembang. Akhirnya munculah handphone dengan teknologi AMPS yang terdengar sayu-sayu gaungnya sebelum digilas habis oleh handphone berteknologi GSM dengan jagoan fiturnya kala itu adalah Short Message Service alias SMS.
Awal Abad ke-21 adalah era permulaan boomingnya mobile phone GSM. Nokia, Motorola, Siemens, dan Ericsson bersaing memperebutkan pangsa pasar yang begitu haus akan perangkat telepon bergerak. Awal tahun 2000-an HP-HP berukuran jumbo dengan layar kecil monokrom merajai pasaran. Ciri khas HP-HP masa itu adalah tahan banting. Menginjak tahun 2002 mulailah trennya bergeser ke HP-HP mini dengan keypad yang kecil pula sampai-sampai kesulitan dalam mengetik SMS.
Semasa aku SMA, cuma segelintir atau satu dua temanku saja yang membawa HP, itupun sering mereka gunakan secara sembunyi-sembunyi takut kalau menjadi pusat perhatian jika ketahuan teman-temannya. Berbeda dengan teman yang memang hobi pamer malah sengaja dipertontonkan 'HP-nya' padahal cuma HP pinjaman ortunya. Aku sendiri tidak berminat untuk memilikinya. Aku pun pernah dengan sok pintar memberikan statement kepada temanku: "Kita itu belum butuh yang namanya HP, di luar negeri itu HP untuk network communication, tapi kalau di Indonesia fungsi utamanya bukan untuk hubungan kerja melainkan lebih ke family communication".
Duduk di bangku kuliah di Jogja tahun 2002, aku belum punya HP kala itu. Ibuku merasa sangat kesulitan jika ingin menghubungiku, menanyakan bagaimana kabarku, sehingga pada awal tahun 2003 pun aku mempunyai HP pertamaku.
Motorola C 300 itulah HP pertamaku. Lumayan keren waktu itu dengan backlight layar LCD-nya yang bisa berubah-ubah warnanya dari Biru, menjadi Putih, bahkan kuning dan bisa berkelap-kelip seperti lampu disko jika ada panggilan atau SMS masuk. Wow keren...... pikirku kala itu. (bersambung)
Dulu waktu melihat HP pertama kali, yang kuingat semasa SD dulu adalah HP besar yang kelihatannya sangat berat dan harganya selangit. Cuma orang-orang berkocek tebalah yang bisa memilikinya.
Untuk yang tidak kuat beli HP namun tetap pengen bergaya solusi saat itu adalah Pager. Masa-masa kejayaan pager saat dekade 90-an akan kelihatan keren jika diselipkan di ikat pinggang, namun sungguh tidak praktis penggunaannya. Tentu saja aku yang masih kolokan saat era booming pager tidak pernah memilikinya. Aku cuma melihatnya dipakai kalangan anak muda ibukota yang kutonton di televisi dan kudengar lewat lagu yang didendangkan salah satu grup musik saat itu yang sudah kulupa namanya. " Beep Beep... Pagerku berbunyi.... beep-beep-beep-beep begitu bunyinya....." itulah sepenggal bait lagu tentang kepopuleran pager saat itu.
Pager pun layu sebelum berkembang. Akhirnya munculah handphone dengan teknologi AMPS yang terdengar sayu-sayu gaungnya sebelum digilas habis oleh handphone berteknologi GSM dengan jagoan fiturnya kala itu adalah Short Message Service alias SMS.
Awal Abad ke-21 adalah era permulaan boomingnya mobile phone GSM. Nokia, Motorola, Siemens, dan Ericsson bersaing memperebutkan pangsa pasar yang begitu haus akan perangkat telepon bergerak. Awal tahun 2000-an HP-HP berukuran jumbo dengan layar kecil monokrom merajai pasaran. Ciri khas HP-HP masa itu adalah tahan banting. Menginjak tahun 2002 mulailah trennya bergeser ke HP-HP mini dengan keypad yang kecil pula sampai-sampai kesulitan dalam mengetik SMS.
Semasa aku SMA, cuma segelintir atau satu dua temanku saja yang membawa HP, itupun sering mereka gunakan secara sembunyi-sembunyi takut kalau menjadi pusat perhatian jika ketahuan teman-temannya. Berbeda dengan teman yang memang hobi pamer malah sengaja dipertontonkan 'HP-nya' padahal cuma HP pinjaman ortunya. Aku sendiri tidak berminat untuk memilikinya. Aku pun pernah dengan sok pintar memberikan statement kepada temanku: "Kita itu belum butuh yang namanya HP, di luar negeri itu HP untuk network communication, tapi kalau di Indonesia fungsi utamanya bukan untuk hubungan kerja melainkan lebih ke family communication".
Duduk di bangku kuliah di Jogja tahun 2002, aku belum punya HP kala itu. Ibuku merasa sangat kesulitan jika ingin menghubungiku, menanyakan bagaimana kabarku, sehingga pada awal tahun 2003 pun aku mempunyai HP pertamaku.
Motorola C 300 itulah HP pertamaku. Lumayan keren waktu itu dengan backlight layar LCD-nya yang bisa berubah-ubah warnanya dari Biru, menjadi Putih, bahkan kuning dan bisa berkelap-kelip seperti lampu disko jika ada panggilan atau SMS masuk. Wow keren...... pikirku kala itu. (bersambung)
Friday, February 1, 2013
Galau Jadi PNS (Part 2)
PNS, stigma negatif masyarakat awam begitu melekat padanya. Pemalas, KKN, berbelit-belit, suka keluyuran saat jam kerja dan tidak efisien itulah sebagian cap negatif masyarakat tentang citra PNS.
Tak pernah terbayang sedikit pun dari kecil sampai dengan mahasiswa untuk menjadi seorang PNS. Ternyata nasib berkehendak lain. Mungkin karena doa kedua orang tuaku yang ingin anaknya yang jadi PNS seperti mereka, jadilah aku seorang PNS sekarang ini.
Cita-citaku sebagai Manajer Investasi kandas sudah ketika aku diterima menjadi PNS. Semua ilmuku sampai jenjang pasca sarjana hanya beberapa % yang terpakai semenjak aku menjadi bagian dari 'abdi' negara ini.
Mungkin semua itu sudah jalanku. Mungkin saja kalau aku tidak menjadi PNS, aku tidak ketemu istriku sekarang ini yang telah memberiku seorang putra mungil, sehat, dan lincah. Mungkin pula, dengan menjadi PNS, Tuhan memilihku untuk menjadi garda terdepan dalam transformasi PNS di negeri ini. Dan mungkin-mungkin yang lain yang tak habis jika ditulis dalam blog ini.
Sudah kubaca buku-buku motivasi untuk menikmati pekerjaan kita sehari-hari. Sudah kuhadiri seminar-seminar manajemen dan motivasi diri yang menyuruh kita untuk mengubah mindset kita terhadap pekerjaan sehari-hari yang kita anggap membosankan menjadi menyenangkan. Namun, akhir-akhir ini aku merasa ada pergolakan serius di hatiku yang mempertanyakan posisiku sebagai PNS saat ini.
Memang jika di bandingkan PNS Kementerian lainnya terlebih lagi dibandingkan dengan PNS Pemda, proses bisnis di Kementerianku sudah beberapa langkah lebih maju. Ya bisa dikatakan sudah seperti di swasta ritme kerjanya. Tetapi yang membuat hatiku galau adalah.......
Apakah aku sampai usia kepala 5 atau 6 harus terus menjadi PNS? Apakah aku tidak merasa berdosa terhadap potensi otakku dan jiwaku dengan porsi pekerjaan yang kecil namun membosankan, dan tidak ada tantangannya sama sekali? Apakah mataku tidak capek melihat teman-teman seprofesi lebih banyak main dan bersantai daripada kerjanya? Apakah aku tidak malu jika senantiasa menanyakan uang DL, Honor, ataupun lembur yang semuanya dibayar dari uang negara terutama dari hasil pajak rakyat? Tak berdosakah diriku mengerdilkan potensi, bakat, dan talenta anugrah Illahi yang luar biasa jika aku hanya mengerjakan pekerjaan rutin yang sangat membosankan dan terkesan sepele. Tidakkah hati nurani ini selalu bergejolak jika dengan kerja yang banyak mainnya itu kita digaji penuh plus tunjangan-tunjangan yang membuat iri profesi lainnya?
Aku berkeinginan suatu saat nanti, aku punya usaha sendiri yang tidak menggantungkanku terhadap profesi PNS. Aku berkeinginan kemandirian finansial akan membebaskanku dari belenggu aturan kaku, dan semrawutnya birokrasi. Ku tak ingin anak-anakku kelak mengikuti jejak langkahku sebagai PNS, apalagi PNS pusat yang berpindah-pindah tugas dari satu kota ke kota yang lain yang dengan kejam menihilkan pentingnya kebersamaan suatu keluarga karena terpisah oleh jarak dan waktu.
Meskipun begitu untuk sekarang ini aku kan berusaha mencoba mencintai pekerjaanku sekarang ini dengan mengikuti saran dari pakar-pakar terkenal untuk merubah mind set kita selalu menjadi positif untuk mencapai kebahagiaan yang sejati tanpa kepura-puraan yang membuat sakit hati.
Tak pernah terbayang sedikit pun dari kecil sampai dengan mahasiswa untuk menjadi seorang PNS. Ternyata nasib berkehendak lain. Mungkin karena doa kedua orang tuaku yang ingin anaknya yang jadi PNS seperti mereka, jadilah aku seorang PNS sekarang ini.
Cita-citaku sebagai Manajer Investasi kandas sudah ketika aku diterima menjadi PNS. Semua ilmuku sampai jenjang pasca sarjana hanya beberapa % yang terpakai semenjak aku menjadi bagian dari 'abdi' negara ini.
Mungkin semua itu sudah jalanku. Mungkin saja kalau aku tidak menjadi PNS, aku tidak ketemu istriku sekarang ini yang telah memberiku seorang putra mungil, sehat, dan lincah. Mungkin pula, dengan menjadi PNS, Tuhan memilihku untuk menjadi garda terdepan dalam transformasi PNS di negeri ini. Dan mungkin-mungkin yang lain yang tak habis jika ditulis dalam blog ini.
Sudah kubaca buku-buku motivasi untuk menikmati pekerjaan kita sehari-hari. Sudah kuhadiri seminar-seminar manajemen dan motivasi diri yang menyuruh kita untuk mengubah mindset kita terhadap pekerjaan sehari-hari yang kita anggap membosankan menjadi menyenangkan. Namun, akhir-akhir ini aku merasa ada pergolakan serius di hatiku yang mempertanyakan posisiku sebagai PNS saat ini.
Memang jika di bandingkan PNS Kementerian lainnya terlebih lagi dibandingkan dengan PNS Pemda, proses bisnis di Kementerianku sudah beberapa langkah lebih maju. Ya bisa dikatakan sudah seperti di swasta ritme kerjanya. Tetapi yang membuat hatiku galau adalah.......
Apakah aku sampai usia kepala 5 atau 6 harus terus menjadi PNS? Apakah aku tidak merasa berdosa terhadap potensi otakku dan jiwaku dengan porsi pekerjaan yang kecil namun membosankan, dan tidak ada tantangannya sama sekali? Apakah mataku tidak capek melihat teman-teman seprofesi lebih banyak main dan bersantai daripada kerjanya? Apakah aku tidak malu jika senantiasa menanyakan uang DL, Honor, ataupun lembur yang semuanya dibayar dari uang negara terutama dari hasil pajak rakyat? Tak berdosakah diriku mengerdilkan potensi, bakat, dan talenta anugrah Illahi yang luar biasa jika aku hanya mengerjakan pekerjaan rutin yang sangat membosankan dan terkesan sepele. Tidakkah hati nurani ini selalu bergejolak jika dengan kerja yang banyak mainnya itu kita digaji penuh plus tunjangan-tunjangan yang membuat iri profesi lainnya?
Aku berkeinginan suatu saat nanti, aku punya usaha sendiri yang tidak menggantungkanku terhadap profesi PNS. Aku berkeinginan kemandirian finansial akan membebaskanku dari belenggu aturan kaku, dan semrawutnya birokrasi. Ku tak ingin anak-anakku kelak mengikuti jejak langkahku sebagai PNS, apalagi PNS pusat yang berpindah-pindah tugas dari satu kota ke kota yang lain yang dengan kejam menihilkan pentingnya kebersamaan suatu keluarga karena terpisah oleh jarak dan waktu.
Meskipun begitu untuk sekarang ini aku kan berusaha mencoba mencintai pekerjaanku sekarang ini dengan mengikuti saran dari pakar-pakar terkenal untuk merubah mind set kita selalu menjadi positif untuk mencapai kebahagiaan yang sejati tanpa kepura-puraan yang membuat sakit hati.