Lagi Asik pesan nasi goreng di warung dekat rumah, tiba-tiba
ada seorang pria yang mendekat ke warung. Pria itu mendekat sambil membawa uang
lembaran seratusan ribu di tangannya. Didekatinya si penjual nasi goreng,
lantas mereka berdua bercakap-cakap yang tidak kudengar jelas pembicaraannya
walau hanya berjarak 2 meter dari tempat aku duduk.
"Kok aneh ya, orang ini datang-datang membawa uang
lembaran ratusan ribu, dan si penjual kok memperlihatkan laci tempat menyimpan
uang di gerobaknya. Pasti ini preman yang minta uang keamanan", pikirku
saat itu.
Aku hanya bisa menebak-nebak apa isi pembicaraan mereka. Dan
si preman pun beralih ke warung sebelah yang berjualan ayam goreng/pecel lele.
Tak lama berselang terdengar debat yang cukup keras antara penjual pecel lele
dan preman itu. Si Preman teriak-teriak sambil menggebrak-gebrak meja minta si
penjual membayar uang keamanan.
"Lu tuh orang asing, gua nih orang pribumi. Lu usaha di
sini , kalau lu kaya, gua juga ikut kaya! Lu udah 8 bulan nggak bayar, kalau
nggak bayar lu besok angkat kaki dari sini!", teriak preman itu.
Mereka berdebat sengit sekitar 15 menit, sampai-sampai ada
mbak-mbak berdua langganan penjual nasi goreng kabur nggak jadi pesan karena
ketakutan mendengar suara gaduh di warung sebelah. Para penjual di deretan itu sebenarnya bukan berjualan di
atas tanah desa atau tanah penduduk setempat, melainkan mereka berjualan di
jalur Pipa Gas yang membelah Desa Sarua Tangerang Selatan.
Usut punya usut, ternyata dari cerita si penjual nasi goreng
kalau uang keamanan yang ditarik pria itu memang per bulannya 100 ribu. Dulu
sebelumnya sih cuma 20ribu, namun karena ada beberapa orang yang minta,
jatuhnya banyak juga. Akhirnya para pedagang dan Perkumpulan orang 'keamanan'
itu bersepakat per bulannya 100ribu, tapi dijamin tidak ada pungutan liar
lainnya.
Nah kasus si penjual pecel lele yang berdebat sengit dengan
si pria penarik uang keamanan itu, karena ternyata si penjual pecel lele tidak
mau membayar selama 8 bulan terakhir ini.
"Memang sih 100ribu bukan angka yang sedikit, namun
daripada harus sewa tempat jualan dan ribut-ribut dengan preman setempat, ya jauh
mending bayar uang keamanan 100rb, sudah beres semuanya", cetus si penjual
nasi goreng.
*****
Di Tangerang Selatan, khususnya di desa Sarua memang sudah
lama terkenal dengan aksi preman kampungnya. Mereka si preman mengaku warga
pribumi, dan kebanyakan dari mereka adalah pengangguran. Maraknya pembangunan
perumahan di wilayah Tangsel, membuat para pengembang 'memberdayakan' para
preman kampung pengangguran tadi sebagai tenaga keamanan dan satpam sementara
selama proyek perumahan mereka dibangun. Sekalipun sudah direkrut oleh
developer menjadi satpam, namun dasar mental premannya masih lebih mendarah
daging daripada mental satpam yang jelas bertolak belakang dengan 'profesi' sebelumnya
menjadikan para satpam dadakan yang tidak pernah mengenyam pendidikan pra
satpam itu mempraktekkan jiwa-jiwa premannya pada warga perumahan terutama yang
baru pindah.
Banyak tetangga yang berkeluh kesah ketika mereka pindah
rumah dimintai sejumlah uang yang tentu bukan sekedar senilai uang rokok oleh
para 'satpam' setempat, ataupun kalaupun tidak oleh satpam itu sendiri, ya
dilakukan oleh preman kampung lainnya yang notabene teman si satpam, sehingga
bebas keluar masuk kompleks perumahan. Yang lebih parah lagi jika ada tetangga
yang mau merenovasi rumah, mereka tak segan-segan menarik uang dengan nilai
yang jauh lebih tinggi daripada ketika pindahan, mereka perhalus istilahnya
dengan sebutan 'uang jasa angkut/bongkar muat barang', padahal yang mengangkut
bukan mereka.
Modus operandi para preman itu biasanya dengan nongkrong di pintu gerbang
perumahan dan terlihat sangat akrab dengan satpamnya, jadi bisa dipastikan
mereka teman akrab dan saling mengenal, sehingga jika si preman itu berhasil
minta uang ke warga, sudah tentu si satpam (yang mantan preman) pun dapat juga komisi. Jadi ketika ada warga yang mau pindahan
ataupun ada truk bahan bangunan masuk kompleks perumahan, mereka langsung
membuntuti dan setibanya di rumah warga, mereka meminta sejumlah uang dengan
sedikit intimidasi.
Banyak tingkah unik dari para tetangga untuk menghindari
aksi para preman ini. Ada yang angkut-angkut barang ketika masih subuh dengan
asumsi si preman masih pada tidur karena pasti mereka malamnya sering begadang.
Adapula yang waktu pindahan atau merenovasi rumah meminta bantuan Saudaranya
yang kebetulan anggota TNI untuk menakut-nakuti preman, bahkan sampai ada
tetangga yang membeli semen dimasukkan ke bagasi mobil sedannya. Memang di
tengah tekanan sering memunculkan kreativitas.
Banyaknya perumahan baru berbentuk cluster dengan tembok
keliling yang memisahkan dengan penduduk setempat, seringkali menimbulkan permasalahan
sosial baru. Penghuni cluster yang biasanya tingkat kesejahteraannya lebih
tinggi daripada masyarakat kampung setempat pasti akan menimbulkan kesenjangan.
Apalagi penduduk setempat yang merasa penduduk asli semakin terdesak oleh para
pendatang yang secara ekonomi lebih mapan. Pada akhirnya penduduk kampung
setempat hanya berperan sebagai penonton akan kesejahteraan penduduk pendatang.
Kurangnya tingkat pendidikan warga lokal (padahal dekat dengan ibukota negara)
menjadi mereka kalah bersaing di dunia kerja dan akhirnya banyak pemuda yang
menjadi preman, dengan budaya hidup santai, tidak perlu tenaga banyak, tapi
gampang dapat uang dari memalak warga pendatang.
Pemerintah setempat harusnya tanggap dengan keadaan ini.
Jurang yang semakin melebar antara si kaya dan si miskin di Tangerang Selatan,
harusnya ada aksi nyata dari pemerintah setempat. Bagaimana cara mengelola SDM
lokal agar bisa bersaing di dunia kerja, tidak cuek dengan semakin banyaknya
preman kampung yang merajalela. Jangan hanya semata-mata menggenjot penerimaan
pajak dari maraknya pembangunan perumahan, namun tidak mempedulikan
kesejahteraan penduduk lokal yang semakin terdesak, yang pada akhirnya akan
menimbulkan keresahan di masyarakat. Sebenarnya setelah mkuamati, sebenarnya
preman-preman kampung itu hanya perlu pembinaan yang tidak mustahil bisa
mendorong mereka bekerja bahkan mau berwirausaha. Preman kampung itu beda
dengan preman-preman yang di Ibukota Jakarta yang terkenal bengis, ganas, dan
terorganisir. Preman kampung masih mudah untuk didekati, diajak berbicara
maupun berdiskusi, beda dengan preman ibukota yang hampir tidak mempan dengan
cara halus. Memang kita tidak boleh hanya berpangku tangan mengandalkan peran
pemerintah, kita sendiri sebagai masyarakat pendatang sebaiknya perlu membina
hubungan baik dengan warga lokal setempat. Misalnya kita yang ekonominya lebih
mapan, bisa memberikan sedikit bantuan sembako atau sumbangan dalam bentuk lainnya. Atau jika
memungkinkan kompleks kita mengadakan pengobatan gratis, mungkin ada warga yang
berprofesi seperti dokter atau perawat bisa memberikan bantuan tenaganya,
sedangkan warga lainnya menyumbang obat-obatannya. Dengan aksi-aksi sosial
seperti itu, secara tidak langsung warga sekitar ikut menjaga kompleks
perumahan kita, bahkan mungkin preman kampungnya pun akan sungkan untuk memalak
lagi warga perumahan, karena warga kompleks sudah bersikap baik dan cukup
membantu keluarga mereka. Hal tersebut memang masih dalam kerangka pemikiran yang belum diwujudkan, namun tidak mustahil untuk diwujudkan dalam waktu dekat ini.
Hidup bermasyarakat memang harus saling berbagi,
menghormati, dan menjaga kerukunan. Tidak ada salahnya untuk membina hubungan
baik dengan warga asli setempat, jangan mentang-mentang kita lebih kaya dari
mereka, kita menutup diri rapat-rapat yang pada akhirnya semakin memperlebar
jurang perbedaan.
******
Di kompleks perumahan kami sekarang ini keamanannya semakin baik. Pungutan liar dari preman-preman juga sudah jarang ada, meski masih juga kecolongan aksi satu dua preman yang memalak warga. Warga kompleks juga sudah merekrut satpam-satpam baru yang lebih peduli akan keamanan kompleks. Warga juga bersepakat tidak melanjutkan kontrak terhadap satpam yang mantan preman karena perilakunya yang sudah kelewatan. Sekarang sudah jarang pemuda-pemuda yang nongkrong di depan gerbang. Jika ada tamu perumahan selalu ditanyai mau bertamu ke siapa, bahkan sopir taksi pun harus meninggalkan ID card di pos satpam saat menjemput pelanggannya.