Lho kok malah nggosip soal ayu ting-ting, emangnya udah keabisan bahan tulisan yak... Just intro aja sih. Yang mau kubahas kali ini adalah tentang proses pemberian nama seorang anak manusia.
"Apalah arti sebuah nama", ungkapan populer yang sering kita dengar sehari-hari. Tentunya orang tua memberikan nama kepada anaknya pastinya ada maknanya, meski sesingkat atau sesederhanapun nama itu. Jadi ungkapan itu tidak sepenuhnya benar.
Nama biasanya menjadi cerminan doa orang tua akan masa depan anaknya. Entah itu sikap si anak kelak akan mirip dengan tokoh yang namanya dijadikan nama anaknya, ataupun sikap si anak kelak sesuai dengan makna kata yang digunakan sebagai nama. Apapun itu, tentu orang tua tidak ingin anaknya menyandang nama seperti nama tokoh yang tercela ataupun kata yang berkonotasi negatif.
Proses pemberian nama bagi sebagian orang adalah sesuatu yang mudah dan cenderung sepele, namun bagi yang lainnya adalah sesuatu yang rumit, ribet, dan terkadang membuat ketegangan dalam keluarga.
Nah dalam kasus ayu ting-ting, dia menamakan anaknya dengan mengambil dari bahasa Arab. Dan dia memakai nama ayahnya sebagai nama belakang anaknya sebagai nama keluarga. Nama Keluarga? Perlukah itu? Hal itu perlu dalam beberapa suku di Indonesia yang mengenal sistem marga, yang paling terkenal adalah marga dalam Suku Batak, yang penurunan nama marganya berdasarkan garis Bapak dalam artian si anak yang lahir hasil perkawinan diberi nama keluarga (belakang) sesuai nama keluarga Bapaknya, bukan Ibunya. Nah si ayu Ting-Ting ini mungkin tiru-tiru dengan tren sekarang ini jika nama belakang seorang anak harus ada nama keluarga, padahal namanya sendiri tidak ada embel-embel nama keluarga dan dia pun bukan berasal dari suku yang memang mempunyai aturan marga.
Tren penggunaan nama belakang juga melanda orang nomor satu di negeri ini yang kebetulan berasal dari Jawa. Padahal dalam budaya Jawa tidak dikenal nama keluarga. Cucu Presiden dua-duanya menyandang nama Yudhoyono di nama belakangnya, padahal SBY sendiri tidak menyandang nama bapak/keluarganya, karena memang suku Jawa tidak mengenal penamaan dengan nama keluiarga. Namun hal itu sah-sah saja sih, toh nggak merugikan siapapun juga.
Tren penggunaan nama keluarga untuk bayi yang baru lahir akhir-akhir ini tidak hanya melanda kalangan tokoh nasional ataupun selebriti melainkan sudah diadopsi oleh masyarakat awam yang notabene tidak memiliki sejarah penggunaan nama keluarga. Mungkin jika fenomena ini semakin meluas, maka tidak hal yang mustahil Suku Jawa di kemudian hari akan memiliki sistem marga seperti halnya Suku Batak.
Penggunaan nama keluarga dari suku yang memang tidak mengenal sistem marga sering menimbulkan banyak persepsi di tengah masyarakat. Ada yang berpendapat pemberian nama keluarga untuk melanggengkan nama besar seorang tokoh/orang yang berpengaruh besar pada masanya. Adapula yang berpendapat bahwa anak, cucu, ataupun keturunan selanjutnya yang menyandang nama besar kakek atau mbah buyutnya/leluhurnya akan mendapat tempat yang istimewa/terhormat di tengah masyarakat nantinya. Tak sedikit pula yang berpendapat sinis, pemberian nama keluarga hanya merupakan wujud dari ego seorang Bapak ataupun Kakek yang ingin namanya terus abadi dan menunjukkan dominasinya terhadap keluarga. Masih banyak lagi persepsi lain yang tidak perlu saya uraikan satu persatu.
Kembali lagi ke proses penamaan seorang anak. Aku sempat terkejut dengan apa yang dilakukan artis idolaku saat remaja dulu, Mbak Dian Sastro yang ternyata mencari nama untuk anaknya dengan searching di Kamus Bahasa Jawa Kuno. Kami pun sempat berdiskusi kecil tentang nama calon anak keduanya di Instagram. Kedua anaknya pun akhirnya menyandang nama-nama berbau nama-nama tokoh zaman Mataram Kuno plus dengan akhiran nama belakang kakek buyutnya yaitu Sutowo. Memang kakek dari suami Mbak Dian Sastro ini adalah Pengusaha Besar yang dikenal sebagai Bosnya Pertamina pada masa jayanya dulu, Ibnu Sutowo. Namun bedanya dengan Ayu Ting-Ting yang baru menggunakan nama bapaknya sebagai nama belakang anaknya, Nama Belakang anaknya Mbak Dian menggunakan nama belakang yang ternyata dimulai dari inisiatif Kakek Buyutnya (Ibnu Sutowo) untuk menamakan anaknya (ayahnya suami Dian Sastro) dengan embel-embel nama keluarga Sutowo sebagai nama belakang. Dan ternyata nama keluarga itu awet sampai ke buyutnya (anaknya Dian Sastro). Sedangkan si Mbak Dian sendiri juga mempunyai nama belakang 'Sastrowardoyo' sebagai nama keluarganya.
Percakapanku dengan Mbak Dian Sastro di Instagram (dok. pribadi) |
Di sini tidak akan dibahas kelebihan atau kekurangan sistem marga, atau penamaan seseorang dengan nama keluarga. Tentang penamaan tentunya sepenuhnya hak dari orang tua si jabang bayi. Nah, bagaimana dengan proses penamaan anakku sendiri?
Jauh-jauh hari sudah kusiapkan nama sebelum anakku lahir. Tidak dari bahasa Arab yang sedang tren saat ini, melainkan aku tetap menggunakan Bahasa Jawa sebagai akar budaya leluhurku untuk penamaan putraku. Aksatriya Manggala Prama, itulah nama yang kupersiapkan sejak awal yang artinya Pemimpin utama yang mempunyai sikap ksatria. Nama Manggala terus terang idenya dari Bapakku, Beliau ingin nama cucu pertamanya diberi nama Manggala Yudha. Namun tidak aku terima mentah-mentah ide itu, kudiskusikan dengan Nining terlebih dahulu. Manggala nama yang bagus dan jarang digunakan, tapi ada yang mengganjal dengan nama 'yudha'. Nining khawatir jika diberi nama Yudha anak kami nantinya suka berkelahi ataupun nakal karena makna kata Yudha adalah perang. Akhirnya kami bersepakat memakai nama Manggala dan menanggalkan nama Yudha. Namun kami juga ikut tren penamaan masa kini yang memakai tiga suku kata untuk sebuah nama, lain halnya saat masaku dulu yang hanya dua suku kata. Nah akhirnya, kata aksatriya dan prama menjadi pilihanku, digabung menjadi Aksatriya Manggala Prama.
Tibalah saatnya istriku melahirkan. Saat aku menunggui istriku di kamar rumah sakit sedangkan bayiku masih di ruang inkubator karena sempat keracunan ketuban, kami pun kembali ngobrol membahas nama untuk anak kami. Ternyata selama ini Nining menceritakan nama yang sebelumnya telah kami sepakati kepada Ibunya, namun Ibunya kurang setuju dengan nama Aksatriya, karena mirip dengan anak sepupunya Nining yang bernama Satriya dan yang ternyata anaknya sering sakit-sakitan. Tidak mau cucunya sakit-sakitan seperti si Satriya, Ibunya Nining meminta Nining agar mempertimbangkan nama lain.
Akhirnya kami sepakat untuk menghapus nama Aksatriya. Namun kami bingung mencari nama penggantinya. Jika kami hanya menamai Manggala Prama akan terasa nanggung diucapkan, kurang satu kata lagi biar enak diucapkan menurut kami. Tiba-tiba spontan aku nyeletuk "Gimana kalau diganti dengan nama MiGi singkatan dari Minggu Legi, kan lucu tuh!". Nining pun akhirnya setuju dengan nama itu, karena akan mengingatkan pada hari kelahirannya yaitu Minggu Legi sama seperti kakeknya Pati. Nama final yang kami pakai jadinya "Manggala Prama Migi". Nama itu kusampaikan kepada orang tuaku di Pati, dan Beliau merespon tidak ada masalah dengan nama itu.
Nah, giliran orang tua Nining yang harus kami kasih tahu. Sebelum aku memberi tahu ternyata Bapaknya Nining mengusulkan untuk memasukkan nama Sahara untuk nama belakangnya karena Beliau beranggapan bahwa Bapakku menyumbang nama Manggala dan biar adil Beliau juga usul nama Sahara, seperti nama belakang kelima anaknya. Namun, sejak awal aku tidak setuju dengan nama belakang, nama keluarga, atau semacamnya. Aku pun tidak memasukkan namakui sebagai nama belakang anakku. Aku agak bingung menjawab usulan ayah mertuaku itu. Untungnya, Nining sigap menimpali jika kami berdua telah bersepakat untuk memberi nama Manggala Prama Migi, dan itu murni ide kami berdua. Ayah mertuaku pun bisa menerima hal itu.
Saat aqiqah pun tiba dan 'dideklarasikan' jika nama anak pertama kami adalah Manggala Prama Migi yang berarti Pemimpin Utama yang lahir pada Minggu Legi. Nama itu adalah doa dan harapan kami terhadap anak kami, Manggala Prama Migi.
No comments:
Post a Comment