Karena internetlah blog ini bisa dibaca banyak orang di mana pun mereka berada. Karena internet pula kita merasa dekat dengan keluarga di seberang lautan melalui media sosial. Internet telah membawa kita ke dunia informasi tanpa batas.
Sekarang kegiatan berbagi informasi di internet selain melalui blog, juga lebih mudah dengan media sosial semacam Twitter maupun Facebook. Berbagi Foto melalui Instagram ataupun Path. Ngobrol, nggosip, ataupun berjualan melalui whatsapp, Line, sampai dengan Blackberry Messenger alias BBM.
Nah, ketika kita mengunggah suatu pernyataan sampai dengan artikel rasanya sangat mudah sekali, tinggal klik, langsung lah bisa diakses di seluruh dunia. Tapi apakah kemudian kemudahan itu mengesampingkan etika yang ada dalam hal ini etika berinternet.
Kebebasan seseorang dibatasi oleh hak orang lain, begitu pula dalam dunia maya. Jadi kita sebagai pengguna harus bagaimana dong?
Pertama,
Santun Dalam Berkomentar
Kita seringkali dibuat heran, tak jarang ada seseorang yang di kehidupan nyata merupakan sosok yang pemalu dan
introvert tapi saat dia berekspresi di dunia maya, dia menjadi sosok yang kritis, terbuka, dan terkesan cerewet. Hal itu tidak menjadi masalah senyampang orang tersebut tidak kelewatan dalam berekspresi dengan menyerang pribadi seseorang dengan kata-kata yang tidak pantas , menebar kebencian tanpa sumber yang meyakinkan.
Masih ingat nggak berbagai kasus yang menjerat para artis, tokoh politik, sampai dengan rakyat biasa yang berkaitan dengan postingan mereka di Facebook maupun Twitter? Jelas semua dikarenakan kebebasan berekspresi di internet yang kebablasan tanpa menyadari bahwa tulisan, gambar, ataupun video yang mereka share menyinggung bahkan mencemarkan nama baik seseorang dalam kata lain karena postingan yang tak beretika.
So, bagaimana membuat postingan yang beretika?
Coba kita lihat komentar-komentar di media massa online saat ini. Wuih... sungguh mengerikan perang kata-kata antar netizen. Dalam komentar-komentar itu sungguh tidak mencerminkan bangsa Indonesia yang santun dalam berbahasa. Komentar-komentar negatif yang ada seringkali menebar kebencian dan permusuhan.
Saya menduga kondisi seperti itu bisa terjadi karena jika di dunia nyata indentitas kita mudah ditelusuri, jadi kita berusaha mengeluarkan kata-kata yang cocok dan mencegah keseleo lidah yang berpotensi untuk menyinggung orang lain. Sedangkan di dunia maya kita bebas menuliskan identitas kita, jadi kita lebih berani berpendapat meskipun menyerang pribadi orang tersebut. Intinya di dunia nyata maupun maya, hukum bisa diberlakukan, mengingat Indonesia juga sudah mempunyai UU ITE, jadi memposting artikel ataupun komentar yang menebar kebencian sudah seharusnya tidak dilakukan lagi, bisa-bisa saat tidur nyenyak malam hari, tiba-tiba kita dicokok kepolisian hanya karena ada orang yang melaporkan artikel ataupun pernyataan kita di media sosial yang membuatnya tersinggung. Mulai biasakan bertutur kata yang santun meskipun hanya di internet. Awalnya memang sulit, namun ketika kita memaksa dan mendisiplinkan kebiasaan itu, berangsur-angsur kita sudah memprogram otak kita untuk
enjoy menulis dengan santun, dan jika hal itu sudah terjadi, maka kebiasaan itu sangat mudah dilakukan.
Kedua,
Stop Budaya Jiplak Menjiplak!
Tidak seperti menulis di kertas, kegiatan menulis artikel di internet memungkinkan untuk terjadinya aksi
copy paste dengan sangat mudah dalam arti lain menyuburkan plagiarisme. Menjiplak karya tulis orang lain, meskipun bukan karya tulis ilmiah tetaplah tindakan yang tidak dibenarkan sekalipun di dunia maya. Seringkali hanya karena alasan praktis untuk tetap memposting artikel di blog, dipilih jalur pintas meng-
copy paste artikel milik orang lain, bahkan tak jarang pula yang menjiplak full 100% dari artikel yang diposting orang lain. Jika hal ini dibiarkan saja dan kita cuek saja, maka akan menjadi kebiasaan yang pada akhirnya melahirkan generasi-generasi instan yang tidak mempedulikan/menghargai bagaimana proses sebuah karya tulis dihasilkan melalui proses berpikir ataupun ide dari pembuatnya.
Jika hal ini terjadi berlarut-larut dan sudah menjadi 'kelumrahan' maka tamatlah SDM Indonesia yang berkualitas. Lalu bagaimana dong caranya agar tidak terjadi budaya
copy paste di masyarakat kita?
Kita tidak boleh cuek begitu saja, dimulai dari diri kita sendiri yang membiasakan untuk membuat artikel yang orisinil ataupun mencantumkan referensi yang jelas, kita juga punya kewajiban moral untuk menyebarluaskan budaya anti plagiarisme ini kepada keluarga, teman-teman, ataupun anak didik kita. Kita jangan bosan meyakinkan mereka agar senantiasa bangga dengan tulisan yang orisinil karya mereka sendiri, tidak menghalalkan segala cara comot sana-sini artikel orang hanya karena malas berpikir dan menulis serta sekedar menaikkan
traffic kunjungan ke
website/blog mereka secara instan.
Tidak hanya tulisan, yang sering dijiplak/diambil tanpa izin di internet adalah foto. Foto juga merupakan hasil karya seseorang, sudah sepantasnya pula kita menghargainya. Jika pun kita menggunakan foto karya orang lain, kita sebutkan jelas sumbernya atau minta izin terlebih dahulu kepada yang punya untuk bisa menggunakan foto tersebut dalam
website/blog kita.
Ketiga,
Stop Bullying!
Remaja zaman sekarang sulit dilepaskan dari aktivitas di media sosial, mulai dari Facebook, Twitter, Path, sampai dengan Instagram. Dari mata masih kriyip-kriyip baru bangun tidur sampai dengan mata sudah 5 watt ngantuk mau tidur, tangannya susah sekali dilepaskan dengan gadget. Dari aktivitas mandi, makan, tidur, belanja, plesiran, sampai putus dengan pacar semua diunggah ke media sosial. Tidak cukup dengan kata-kata, foto dan video pun dengan mudah disebarkan lewat internet.
Nah, aktivitas ini pada sebagian anak muda dianggap sebagai peluang untuk bisa mem-
bully anak lain yang mereka target atau anak yang menjadi sasaran empuk ejekan di sekolahan mereka tambah lagi dengan ejekan di media sosial. Efeknya banyak kita dengar berita di televisi, ada remaja yang bunuh diri hanya gara-gara dibully di media sosial. Oh tragisnya.... Ini sebenarnya tanggung jawab siapa? Jelas ini tanggung jawab kita bersama. Orang Tua, Guru, teman, atau siapa pun punya tanggung jawab untuk menanamkan etika berinternet dan saling mengingatkan. Internet bukan lagi dunia maya, internet juga bagian dari dunia riil dimana di situ juga mencerminkan perilaku kita, kita tidak sedang berakting ketika berinternet ria, ada hukum yang mengaturnya juga.
Seringkali anak-anak pelaku
bullying di internet tidak sadar apa yang mereka lakukan, karena mereka tidak menghadapi subjek langsung target mereka, tidak seperti di dunia nyata. Mereka seakan-akan menganggap hal itu sebagai sebuah lelucon, padahal efeknya luar biasa. Ada yang merasa dipermalukan, tidak punya mental kuat, akhirnya bunuh diri.
Tidak hanya remaja ABG yang seirng mem-
bully lewat media sosial, baru -baru ini di Indonesia juga dikagetkan dengan
bullying terhadap Presiden yang dilakukan oleh seorang tukang tusuk sate. Kasusnya pun mencuat sampai ranah pidana, untungnya dimaafkan oleh Presiden dan bisa bebas.
Yang sering tidak kita sadari bahwa berselancar di internet sebenarnya meninggalkan jejak yang jelas dan bisa dilacak dengan mudah oleh penegak hukum. Bayangan sebagian besar masyarakat kalau melakukan tindakan yang tidak beretika di internet akan susah dilacak itu salah besar. Hal itu perlu diketahui semua pihak dari anak-anak, remaja, sampai dengan orang tua agar berperilaku di dunia maya sudah seharusnya tetap menjunjung etika seperti halnya yang harus kita lakukan di dunia nyata.
Keempat
Stop Pornoaksi dan Pornografi!
Banyak dari anak-anak maupun remaja Indonesia yang akhirnya menjadi korban dalam kasus ini. Mereka dengan mudahnya percaya dengan orang asing yang dikenalnya di medsos. Mereka pun nggak sungkan-sungkan untuk memberikan foto bugilnya ataupun diajak live interaction melalui web cam dengan telanjang. Yang pada akhirnya gambar-gambar maupun video aksi remaja ini beredar luas di internet.
Begitu pula banyak kasus perkosaan yang terjadi diawali perkenalan di media sosial, dilanjutkan dengan pertemuan nyata (kopi darat). Hal ini tentu sangat tragis. Lalu bagaimana cara mencegahnya?
Sosialisasi tentang ber-sosial media yang baik dan benar harusnya gencar dilakukan mulai dari tingkat keluarga, SD, SMP, SMA, sampai dengan Perguruan Tinggi, agar generasi muda kita menjadi generasi yang cerdas dalam menyikapi perkembangan teknologi internet yang ada dan tidak menjadi korban pelecehan seksual.
Kelima
Tahu Tempat dan Waktu
Seringkali kita galau tengah malam. Terus kita posting status kita pada pukul 12 malam. Kita mungkin nggak sadar kegiatan itu bisa mengganggu teman kita di media sosial karena bunyi yang ditimbulkan notifikasi memposting sesuatu entah itu status, foto ataupun video bisa mengganggu mereka yang sudah tidur.
Begitu pula saat misalnya rapat, pelajaran di kelas banyak yang posting ataupun melihat-lihat media sosial. Tindakan ini jelas bisa mengganggu peserta rapat lainnya, ataupun teman sekelas kita, bahkan mungkin ada yang tersinggung dengan tindakan kita karena seolah-olah mengabaikannya, misalnya pimpinan rapat ataupun guru yang tersinggung oleh ulah kita karena sibuk dengan
gadget kita.
Etika tidak hanya berlaku di dunia nyata, di dunia maya pun segala aktivitasnya dituntut beretika. Sekali kita tidak beretika di internet, citra diri kita akan hancur dan tidak tertutup kemungkinan akan menghadapi gugatan pidana maupun perdata. Sekali kita mengunggah sesuatu ke internet, maka seluruh dunia bisa tahu. Jadi berpikirlah sebelum asal njeplak di internet.
Jika di dunia nyata kita mengenal istilah Mulutmu Harimaumu, maka di dunia maya kita mengenal istilah Postinganmu Harimaumu, jika apa yang kita posting bisa menimbulkan keresahan, kebencian, ataupun membuat orang lain tersinggung.
Berekspresi dan berpendapat merupakan hak semua orang, namun tetaplah santun dalam memposting sesuatu atau berkomentar di internet. Jadilah Pengguna Internet yang Cerdas dan Beretika.